Pahlawan. Buat
gw pahlawan yang gw liat di buku2 sejarah atau biografi2 Tokoh2 yang
menginspirasi di dunia memang sangat hebat, salut dengan seluruh pengorbanan
mereka demi bangsa dan negara serta dunia.
Tapi, untuk yang berikutnya, gw kali
ini akan bahas pahlawan2 yang tak terlihat, tak terekspos dimata dunia
sebelumnya, namun mereka melakukannya dengan tulus, ikhlas tanpa berharap
materi, tak perlu disorot media atau apapun itu. Mereka membantu yg kesusahan
dan bermasalah dengan hidupnya, di tengah kesusahannya sendiri. Ada juga kisah
inspirasi tentang pahlawan2 yg mengarumkan nama bangsa dengan prestasi mereka,
yg sederhana tapi powerfull.
Bisa gw bilang
Tokoh2 perjuangan di negeri kita dan di dunia adalah orang2 abnormal, orang2
berotak kanan. Kok bisa abnormal dan berotak kanan? Ya mereka bukan orang2
biasa yang hidup sekedar untuk makan, menikah, punya anak, lalu mati. Ada cita
cita yang begitu kuat dlm diri mereka, mereka perjuangkan dengan sekuat tenaga
dan kesungguhan yg luar biasa sampai seringkali mengorbankan kenyamanan
hidupnya sendiri. Untuk meneruskan perjuangan2 para tokoh pejuang di masa kini
kita memerlukan pejuang2 lingkungan sosial yang langsung turun mengatasi
masalah2 sosial yg begitu kompleks dengan cara yg abnormal juga. Orang2 yang
transformatif, yg memiliki gagasan baru, tak pernah lelah dlm memperjuangkan
visinya, yg tak menyerah begitu saja hingga gagasan2nya tersebar luas sejauh
mungkin.
Terlihat kan bedanya orang normal dan abnormal. Orang normal akan
menyesuaikan diri dengan alam sekitar, sementara orang abnormal akan berjuang
dengan kesungguhan luar biasa agar dunia dapat menyesuaikan dengan dirinya.
Pahlawan 'Sunyi'
disekitar kita. Mereka adalah orang biasa yg memiliki ketulusan hati membantu
dan memberi kepada sesama tanpa imbalan apa2. Bahkan merekapun sebenarnya dalam
keadaan yg juga kurang beruntung. Subhanallah.
Bapak Gendu
Mulatif,
mantan pejuang
yang menyambung hidupnya dengan berjualan ayam di pasar. Beliau mendirikan
tempat penampungan bagi puluhan ribu orang sakit jiwa yang tak lagi tau dimana
keluarganya dan terlantar dijalanan. Berawal dr pak gendu melihat seorang
perempuan kurang waras sedang dikeroyok masa krn melukai seorang anak kecil
didesanya, dibawanya pulang prempuan itu dirawat dan diobatin, 2 minggu
kemudian prempuan itu sembuh dan dikembalikan pada keluarganya. Akhirnya dia
meminta pd setiap org kampungnya bila menemukan orang gila berkeliaran dijalan,
diantar ke rumahnya untuk dirawat dan diobati. Beliau berprinsip, sampah saja
ada tempat pembuangannya, banyak yang bisa dimanfaatkan kembali. Apalagi
manusia, ciptaan Tuhan paling sempurna, mereka memang gila, tp mereka tetap
layak di rawat dan disembuhkan. Walaupun rumahnya selalu bau busuk dan tak
jarang orang gila itu buang hajat disembarang tempat, beliau ttp sabar. Semua
biaya perawatan orang sakit jiwa itu dari hasil berjualan ayam dan hasil
menyewakan andongnya. Di usianya yg 90 tahun pak gendu tetap misinya tersebut
semata2 untuk ibadah.
Andi Rabiah,
sang suster apung.
Tugas beratnya sebagai tenaga medis di sepuluh pulau kecil di perairan flores
yang menuntut resiko dekat dengan maut. Demi ratusan ribu nyawa yg hrs
diselamatkan,Berbagai hambatan diterjangnya. Dari perahu motor yg ditumpanginya
hancur diterpa badai, badai dan ombak lautan yg ganas, bocornya perahu di
tengah2 perjalanan dinasnya, sudah biasa dia alami. Hampir setiap hari selama
berjam2 bahkan dua hari dua malam ia menerjang ombak dgn perahu motor bahkan
perahu dayung dari pulau satu ke pulau lain untuk memberi pelayanan kesehatan
kpd masyarakat. Sudah 31 tahun, beliau mengabdi dalam diam. Ketika para pejabat
sibuk mengkampanyekan dirinya mampu membantu rakyat kecil, Rabiah dalam diam
memberikan hampir separuh hidupnya untuk kelangsungan hidup rakyat di pedalaman
flores. Rabiah telah menyembuhkan pasien TBC, diare, malaria, tifus, penyakit
kulit, dan pnyakit lainnya dlm kondisi medan yg sulit luar biasa. Pergi malam,
pagi baru sampai terombang ambing ombak ditengah lautan. Ketika ditanya mengapa
dia rela hidup melayani masyarakat, dia blg dia memegang teguh sila kelima
pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Baginya rakyat2 di
pelosok pulau juga berhak akan adanya sentuhan2 sosial seperti kesehatan yang
sedang dia jalani hampir separuh hidupnya.
Maria Gisela
Borowka.
Seorang wanita
jerman datang dari negara maju, menempuh perjalanan hampir 2 bulan lamanya
terombang ambing diatas kapal mengarungi laut lepas menuju pulau kecil di
lembata flores, tergerak oleh hati nuraninya untuk menjamah sebuah pulau kecil
dimana wabah kusta merajalela. Seperti kita ketahui, kusta adalah penyakit yg
menjadi momok bagi manusia sejak puluhan tahun. Smpai dijuluki penyakit Kutukan
Tuhan. Perlahan tp pasti penderita kusta akan membusuk daging di bagian2 tubuhnya
yg memiliki ruas spt jari kaki dan tangan. Sebelum membusuk diawali mati rasa,
setelah itu jari2 pengidap kusta akan terlepas seperti remah2 kue kering.
Penderita kusta akan mengalami kesakitan yg maha dahsyat, dan semakin
dikucilkan karena bagian yg luka beraroma busuk. Celakanya, penyakit ini dengan
mudah menulari orang lain melalui kontak fisik maupun udara. Tak heran
penderita kusta diperlakukan seperti sampah yang dibuang dan dikucilkan serta
membiarkan mereka satu demi satu meregang ajal secara mengenaskan. Gisela
mengobati, merawat dan menyemangati orang2 putus asa itu dengan penuh
keberanian dan tanpa rasa jijik. Awal setibanya di lembata, pemandangan
memilukan yg ia dapat. Para penderita kusta tak ubahnya seperti tikus2,
diasingkan dr pemukiman warga dan dibiarkan tanpa pertolongan. Mereka
berkumpul, sama2 menanggung sakit dan menanti kematian. Tak hanya itu, mereka
jg di sibukkan oleh kutu busuk yg menghuni tiap lipatan tikar dan pakaian mrk,
blm lagi nyamuk2 ganas, saat hujan tiba mereka berkubang lumpur, malam hari
saat mreka tidur tikus2 menyantap daging2 mereka yg telah membusuk dan mati
rasa, esok pagi ya penderita mendapati lukanya makin menganga. Ketika di tanya,
apakah ia tak takut tertular kusta, ia menjawab, kami memang masi sangat muda,
tapi melihat mereka tak berdaya dan membutuhkan pertolongan, dgn suka cita kami
akan mengobati mereka, masalah tertular atau tidak saya tak terlalu
memikirkannya. Perjuangan tak sampai disitu, anak2 para penderita kustapun
ditampungnya di suatu rumah, di didik dan diasuh agar menjadi orang yang
mandiri. 17 tahun dia mengabdikan dirinya di lembata flores dan tiada lelah
berkampanye bahwa, " penyakit kusta bukan kutukan Tuhan, bisa
disembuhkan,biarlah mereka hidup bersama kita. Mereka jg ciptaan Tuhan, Tuhan
sayang kita semua. Jangan lukai hati mereka, mereka tlah terluka". Dan
membuat masyarakat tergerak untuk memberantas kusta, bukan pengidapnya. Cinta
dan kasih sayang adalah jalan terlurus menuju keselamatan umat manusia.
Sri Utami.
Yang mau jadi
dokter, jelas yang punya duit dan berotak cemerlang karena sekolahnya aja lama,
buku2nya pun mahal, bayar sekolahnya mahal. Yang mau jadi ahli tehnik, jelas yg
berkantung lebar dan bermodal ratusan juta karna belajarnya pun abis ratusan
juta. yang mau jadi pejabat daerah atau petinggi negara? Sama aja, harus yg
berotak cemerlang dan berduit pula, atau berkoneksi kuat, titipan ini, titipan
bapak itu, ponakan ini, ponakan si itu, masi keluarga si ini, keluarga si itu.
Tapi guru.. Siapa yang mau jadi guru, di pelosok pedalaman pula, yang
menjangkau daerah mengajarnya pun penuh dengan rintangan. Yang paling the best,
dlm kondisinya sendiri yang memprihatinkan, serba kekurangan, pendidikan yg
kurang memadai dan dia tau jenjang karirnya tak bisa dipastikan? Gw rasa orang
seperti ini cuma orang yang berhati emas, berahklak mulia dan mengalir nilai
kemanusiaan di dalam darahnya. Inilah Sri Utami.
Saat hujan
turun, dia baru saja berjalan kaki sekitar satu kilometer. Masih ada tiga
kilometer perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai yang menantinya untuk
diseberangi. Gubuk beratap rumbia dan tanpa tempat duduk itu, selalu menjadi
penolong saat dia kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, dia juga berteduh
bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.Sri Utami adalah seorang guru
yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo,
Gorontalo. Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi musuhnya. Dia
terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur. ”Ini sepatu saya
satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba,”
ujarnya wanita berjilbab itu tersenyum.
Mengenakan blus
motif bunga berwarna biru, rok hitam yang mulai pudar serta jilbab usangnya,
wanita asli Surabaya, Jawa Timur itu terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin
berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan.
Jangankan untuk beli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya
saja ia tak sanggup.Putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga
bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. ”Itupun dia bisa sekolah karena
biayanya hasil patungan sanak saudara di sana. Sejak pindah ke daerah
transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang,” lirihnya.
Gaji dua ratus
lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan, hanya habis untuk makan. Dia dan
dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa
berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Sejak
pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa
menghasilkan banyak uang. Dia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya
menjadi pendidik, saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.Bersama suaminya,
Sri menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo pada tahun 2009. Meski di
daerah terpencil, dia tetap ingin menjadi guru abdi. Baginya, mengajar adalah
nadinya. Pernah dia berpikir dan mencoba untuk berhenti saja jadi guru dan
terjun menjadi buruh tani. Namun, sehari pun dia tak bisa melakukannya. Dia
terlanjur cinta pada dunia pendidikan.Titel sarjana yang diraihnya susah payah,
menjadi beban tersendiri baginya. Dia tak boleh menyia-nyiakan ilmunya.
Kegigihan Sri sebagai guru abdi, menghantarkannya menjadi satu dari tujuh
pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori
guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap
memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.
Miris nian nasib
Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa
menyekolahkan sang anak. Hatinya terenyuh setiap kali melihat puluhan siswa
yang diajarnya. ”Saya sibuk mengajar, sedangkan anak saya tak bisa sekolah,”
ucapnya lirih.Di usianya yang kini menginjak empat puluh enam tahun, membuat
harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil tertutup sudah. Pipinya yang kurus
kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa
mengecap pendidikan. Harapan agar gajinya kelak akan layak. Harapan agar nasib
putranya tak berakhir di ladang.
mereka mungkin
hanya segelintir manusia yang tak terlihat awalnya, mereka manusia yang gak
berharap imbalan apa2 dengan semua yang mereka kerjakan dengan gembira, dengan
hati lapang dan ikhlas menerima segala cobaan lalu kemudian bangkit menjadi
sesuatu yang besar.. Semoga sedikit contoh cerita2 teladan mereka tersebut
dapat kita ambil hikmah dan kita bisa meniru teladan mereka demi menyebarkan
kembali kebahagiaan yang sama kepada seluruh umat manusia di penjuru dunia
dengan hal2 kecil tapi berarti bagi perubahan dunia itu sendiri.
No comments:
Post a Comment