Thursday, December 18, 2014

Pahlawan Dalam Sunyi - Aiyu Asayaka

Pahlawan. Buat gw pahlawan yang gw liat di buku2 sejarah atau biografi2 Tokoh2 yang menginspirasi di dunia memang sangat hebat, salut dengan seluruh pengorbanan mereka demi bangsa dan negara serta dunia. 

Tapi, untuk yang berikutnya, gw kali ini akan bahas pahlawan2 yang tak terlihat, tak terekspos dimata dunia sebelumnya, namun mereka melakukannya dengan tulus, ikhlas tanpa berharap materi, tak perlu disorot media atau apapun itu. Mereka membantu yg kesusahan dan bermasalah dengan hidupnya, di tengah kesusahannya sendiri. Ada juga kisah inspirasi tentang pahlawan2 yg mengarumkan nama bangsa dengan prestasi mereka, yg sederhana tapi powerfull.

Bisa gw bilang Tokoh2 perjuangan di negeri kita dan di dunia adalah orang2 abnormal, orang2 berotak kanan. Kok bisa abnormal dan berotak kanan? Ya mereka bukan orang2 biasa yang hidup sekedar untuk makan, menikah, punya anak, lalu mati. Ada cita cita yang begitu kuat dlm diri mereka, mereka perjuangkan dengan sekuat tenaga dan kesungguhan yg luar biasa sampai seringkali mengorbankan kenyamanan hidupnya sendiri. Untuk meneruskan perjuangan2 para tokoh pejuang di masa kini kita memerlukan pejuang2 lingkungan sosial yang langsung turun mengatasi masalah2 sosial yg begitu kompleks dengan cara yg abnormal juga. Orang2 yang transformatif, yg memiliki gagasan baru, tak pernah lelah dlm memperjuangkan visinya, yg tak menyerah begitu saja hingga gagasan2nya tersebar luas sejauh mungkin. 

Terlihat kan bedanya orang normal dan abnormal. Orang normal akan menyesuaikan diri dengan alam sekitar, sementara orang abnormal akan berjuang dengan kesungguhan luar biasa agar dunia dapat menyesuaikan dengan dirinya.

Pahlawan 'Sunyi' disekitar kita. Mereka adalah orang biasa yg memiliki ketulusan hati membantu dan memberi kepada sesama tanpa imbalan apa2. Bahkan merekapun sebenarnya dalam keadaan yg juga kurang beruntung. Subhanallah.

Bapak Gendu Mulatif,
mantan pejuang yang menyambung hidupnya dengan berjualan ayam di pasar. Beliau mendirikan tempat penampungan bagi puluhan ribu orang sakit jiwa yang tak lagi tau dimana keluarganya dan terlantar dijalanan. Berawal dr pak gendu melihat seorang perempuan kurang waras sedang dikeroyok masa krn melukai seorang anak kecil didesanya, dibawanya pulang prempuan itu dirawat dan diobatin, 2 minggu kemudian prempuan itu sembuh dan dikembalikan pada keluarganya. Akhirnya dia meminta pd setiap org kampungnya bila menemukan orang gila berkeliaran dijalan, diantar ke rumahnya untuk dirawat dan diobati. Beliau berprinsip, sampah saja ada tempat pembuangannya, banyak yang bisa dimanfaatkan kembali. Apalagi manusia, ciptaan Tuhan paling sempurna, mereka memang gila, tp mereka tetap layak di rawat dan disembuhkan. Walaupun rumahnya selalu bau busuk dan tak jarang orang gila itu buang hajat disembarang tempat, beliau ttp sabar. Semua biaya perawatan orang sakit jiwa itu dari hasil berjualan ayam dan hasil menyewakan andongnya. Di usianya yg 90 tahun pak gendu tetap misinya tersebut semata2 untuk ibadah.

Andi Rabiah,
sang suster apung. Tugas beratnya sebagai tenaga medis di sepuluh pulau kecil di perairan flores yang menuntut resiko dekat dengan maut. Demi ratusan ribu nyawa yg hrs diselamatkan,Berbagai hambatan diterjangnya. Dari perahu motor yg ditumpanginya hancur diterpa badai, badai dan ombak lautan yg ganas, bocornya perahu di tengah2 perjalanan dinasnya, sudah biasa dia alami. Hampir setiap hari selama berjam2 bahkan dua hari dua malam ia menerjang ombak dgn perahu motor bahkan perahu dayung dari pulau satu ke pulau lain untuk memberi pelayanan kesehatan kpd masyarakat. Sudah 31 tahun, beliau mengabdi dalam diam. Ketika para pejabat sibuk mengkampanyekan dirinya mampu membantu rakyat kecil, Rabiah dalam diam memberikan hampir separuh hidupnya untuk kelangsungan hidup rakyat di pedalaman flores. Rabiah telah menyembuhkan pasien TBC, diare, malaria, tifus, penyakit kulit, dan pnyakit lainnya dlm kondisi medan yg sulit luar biasa. Pergi malam, pagi baru sampai terombang ambing ombak ditengah lautan. Ketika ditanya mengapa dia rela hidup melayani masyarakat, dia blg dia memegang teguh sila kelima pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Baginya rakyat2 di pelosok pulau juga berhak akan adanya sentuhan2 sosial seperti kesehatan yang sedang dia jalani hampir separuh hidupnya.

Maria Gisela Borowka.
Seorang wanita jerman datang dari negara maju, menempuh perjalanan hampir 2 bulan lamanya terombang ambing diatas kapal mengarungi laut lepas menuju pulau kecil di lembata flores, tergerak oleh hati nuraninya untuk menjamah sebuah pulau kecil dimana wabah kusta merajalela. Seperti kita ketahui, kusta adalah penyakit yg menjadi momok bagi manusia sejak puluhan tahun. Smpai dijuluki penyakit Kutukan Tuhan. Perlahan tp pasti penderita kusta akan membusuk daging di bagian2 tubuhnya yg memiliki ruas spt jari kaki dan tangan. Sebelum membusuk diawali mati rasa, setelah itu jari2 pengidap kusta akan terlepas seperti remah2 kue kering. Penderita kusta akan mengalami kesakitan yg maha dahsyat, dan semakin dikucilkan karena bagian yg luka beraroma busuk. Celakanya, penyakit ini dengan mudah menulari orang lain melalui kontak fisik maupun udara. Tak heran penderita kusta diperlakukan seperti sampah yang dibuang dan dikucilkan serta membiarkan mereka satu demi satu meregang ajal secara mengenaskan. Gisela mengobati, merawat dan menyemangati orang2 putus asa itu dengan penuh keberanian dan tanpa rasa jijik. Awal setibanya di lembata, pemandangan memilukan yg ia dapat. Para penderita kusta tak ubahnya seperti tikus2, diasingkan dr pemukiman warga dan dibiarkan tanpa pertolongan. Mereka berkumpul, sama2 menanggung sakit dan menanti kematian. Tak hanya itu, mereka jg di sibukkan oleh kutu busuk yg menghuni tiap lipatan tikar dan pakaian mrk, blm lagi nyamuk2 ganas, saat hujan tiba mereka berkubang lumpur, malam hari saat mreka tidur tikus2 menyantap daging2 mereka yg telah membusuk dan mati rasa, esok pagi ya penderita mendapati lukanya makin menganga. Ketika di tanya, apakah ia tak takut tertular kusta, ia menjawab, kami memang masi sangat muda, tapi melihat mereka tak berdaya dan membutuhkan pertolongan, dgn suka cita kami akan mengobati mereka, masalah tertular atau tidak saya tak terlalu memikirkannya. Perjuangan tak sampai disitu, anak2 para penderita kustapun ditampungnya di suatu rumah, di didik dan diasuh agar menjadi orang yang mandiri. 17 tahun dia mengabdikan dirinya di lembata flores dan tiada lelah berkampanye bahwa, " penyakit kusta bukan kutukan Tuhan, bisa disembuhkan,biarlah mereka hidup bersama kita. Mereka jg ciptaan Tuhan, Tuhan sayang kita semua. Jangan lukai hati mereka, mereka tlah terluka". Dan membuat masyarakat tergerak untuk memberantas kusta, bukan pengidapnya. Cinta dan kasih sayang adalah jalan terlurus menuju keselamatan umat manusia.

Sri Utami.
Yang mau jadi dokter, jelas yang punya duit dan berotak cemerlang karena sekolahnya aja lama, buku2nya pun mahal, bayar sekolahnya mahal. Yang mau jadi ahli tehnik, jelas yg berkantung lebar dan bermodal ratusan juta karna belajarnya pun abis ratusan juta. yang mau jadi pejabat daerah atau petinggi negara? Sama aja, harus yg berotak cemerlang dan berduit pula, atau berkoneksi kuat, titipan ini, titipan bapak itu, ponakan ini, ponakan si itu, masi keluarga si ini, keluarga si itu. Tapi guru.. Siapa yang mau jadi guru, di pelosok pedalaman pula, yang menjangkau daerah mengajarnya pun penuh dengan rintangan. Yang paling the best, dlm kondisinya sendiri yang memprihatinkan, serba kekurangan, pendidikan yg kurang memadai dan dia tau jenjang karirnya tak bisa dipastikan? Gw rasa orang seperti ini cuma orang yang berhati emas, berahklak mulia dan mengalir nilai kemanusiaan di dalam darahnya. Inilah Sri Utami.
Saat hujan turun, dia baru saja berjalan kaki sekitar satu kilometer. Masih ada tiga kilometer perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai yang menantinya untuk diseberangi. Gubuk beratap rumbia dan tanpa tempat duduk itu, selalu menjadi penolong saat dia kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, dia juga berteduh bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.Sri Utami adalah seorang guru yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi musuhnya. Dia terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur. ”Ini sepatu saya satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba,” ujarnya wanita berjilbab itu tersenyum.
Mengenakan blus motif bunga berwarna biru, rok hitam yang mulai pudar serta jilbab usangnya, wanita asli Surabaya, Jawa Timur itu terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan. Jangankan untuk beli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup.Putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. ”Itupun dia bisa sekolah karena biayanya hasil patungan sanak saudara di sana. Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang,” lirihnya.
Gaji dua ratus lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan, hanya habis untuk makan. Dia dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa menghasilkan banyak uang. Dia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik, saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.Bersama suaminya, Sri menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo pada tahun 2009. Meski di daerah terpencil, dia tetap ingin menjadi guru abdi. Baginya, mengajar adalah nadinya. Pernah dia berpikir dan mencoba untuk berhenti saja jadi guru dan terjun menjadi buruh tani. Namun, sehari pun dia tak bisa melakukannya. Dia terlanjur cinta pada dunia pendidikan.Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Dia tak boleh menyia-nyiakan ilmunya. Kegigihan Sri sebagai guru abdi, menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.
Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya terenyuh setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya. ”Saya sibuk mengajar, sedangkan anak saya tak bisa sekolah,” ucapnya lirih.Di usianya yang kini menginjak empat puluh enam tahun, membuat harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil tertutup sudah. Pipinya yang kurus kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Harapan agar gajinya kelak akan layak. Harapan agar nasib putranya tak berakhir di ladang.
mereka mungkin hanya segelintir manusia yang tak terlihat awalnya, mereka manusia yang gak berharap imbalan apa2 dengan semua yang mereka kerjakan dengan gembira, dengan hati lapang dan ikhlas menerima segala cobaan lalu kemudian bangkit menjadi sesuatu yang besar.. Semoga sedikit contoh cerita2 teladan mereka tersebut dapat kita ambil hikmah dan kita bisa meniru teladan mereka demi menyebarkan kembali kebahagiaan yang sama kepada seluruh umat manusia di penjuru dunia dengan hal2 kecil tapi berarti bagi perubahan dunia itu sendiri.




No comments:

Post a Comment